Infobengkulu.com – Saat saya masih duduk di kelas 2 SMA, salah seorang guru bahasa Inggris kami, Ibu Indarwati (almh), menyarankan agar saya melanjutkan kuliah di FKIP jurusan Bahasa Inggris biar nanti bisa menjadi penerus beliau.
Namun diam-diam saya menolak saran itu tanpa memberi tahu beliau. Saya bukan tidak suka pelajaran ini, malahan bahasa Inggris adalah pelajaran favoritku. Saya berpikir bahasa Inggris harusnya menjadi senjata, alih-alih sebagai pekerjaanku di kemudian hari.
Setelah berembuk dengan orang tua, akhirnya saya putuskan mengambil jurusan Teknik Pertambangan di Universitas Sriwijaya (UNSRI). Ternyata ini adalah pilihan yang tepat.
Singkat cerita, hobi belajar bahasa Inggris alhamdulillah bisa mengantarkanku melamar pekerjaan di perusahaan asing (tambang batubara milik investor Australia) dengan cukup mudah, dan kini menjadi “senjata” saat saya kuliah S2 di Amerika Serikat.
Saya yakin, apapun profesi, pekerjaan, atau jurusan kuliah yang kita ambil, yang terpenting adalah menguasai bidang tersebut. Sedangkan bahasa Inggris (atau bahasa apapun) hanyalah salah satu alat untuk menyampaikan pesan kita.
Ketika masih bekerja di tambang batubara, kami wajib menghadiri meeting harian. Peserta meeting, selain karyawan pribumi, juga hadir para bule dari Australia, Amerika, Inggris, Afrika Selatan, dan India. Yang dibahas di pertemuan itu tentu saja hal-hal yang berhubungan dengan tambang.
Contoh, ketika membahas berapa target produksi batubara bulan ini, yang katakanlah “30,000 MT” (baca: thirty thousand metric tonnes), bahasa Inggris standar yang dipakai pasti merujuk ke hal-hal teknis ini saja. Dan itu sudah membuat orang-orang luar negeri itu paham dengan maksud kita.
Karena bahasa hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, maka yang lebih penting adalah apa yang dikomunikasikan, bukan kecanggihan bahasa Inggrisnya. Jadi, mengucapkan “thirty thousand metric tonnes” sudah cukup. Ngga perlu, misalkan, menggunakan idioms atau peribahasa bahasa Inggris yang super canggih.
Prinsip yang sama juga berlaku saat kuliah di negara yang berbahasa Inggris, seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Canada, dst. Poin paling utama adalah menguasai bidang atau jurusan yang kita ambil. Sedangkan bahasa Inggris hanyalah alat menyampaikan maksud kita.
Saya sangat bersyukur bisa memanfaatkan hobi bahasa Inggris sejak sekolah dulu hingga sekarang sebagai senjata untuk berkomunikasi, alih-alih “hidup” dari bahasa Inggris itu sendiri (sebagai pekerjaan utama).
Sekali lagi, pernyataan ini tidak mengurangi rasa hormat saya kepada mereka yang mengabdikan diri dalam mengajar bahasa Inggris, entah sebagai guru atau dosen. Mereka punya peran penting dan berjasa mengajarkan bahasa Inggris kepada putra-putri bangsa.
Pesan saya adalah, jangan tutup diri hanya dengan satu jalan. Pintar atau hobi bahasa Inggris jangan malah “mengaburkan” mimpimu untuk menjadi insinyur, ilmuwan, seniman, dokter, dan seterusnya. Prinsip saya, gunakan bahasa Inggris sebagai nilai tambah, bukan sebagai pekerjaan utama.
Bagaimana menurut kalian? Kita diskusi di kolom komentar ya. Ketik “Setuju” bagi yang suka dengan tulisan ini.
Golden, Colorado, AS
Desember 2024
Rengky Yasepta